Jumat, 29 Juni 2007
Kapan Curhat Itu Diperlukan?
Jakarta, 09 Mei 2007
Kebutuhan Sosial Insani
Dari praktek yang sering kita lakukan, curhat (dibaca: curahan hati) itu adalah pengungkapan kita tentang kita (personal) kepada orang lain. Curhat ini berbeda dengan pengaduan. Pengaduan lebih sering dipakai untuk hal-hal yang bersifat sosial. Curhat juga berbeda dengan konseling. Konseling lebih bersifat personal-formal. Di samping itu, konseling memiliki standar profesional dan terkadang juga harus bayar. Hal yang paling mendasar dari konseling adalah bimbingannya.
Seiring dengan kemajuan teknologi, praktek curhat ini sudah mengalami banyak perkembangan. Ada stasiun radio yang khusus menangani orang yang ingin curhat. Ada provider telepon seluler yang membuka nomor khusus untuk curhat. Ada mailing list khusus yang memang didesain untuk keperluan curhat. Bahkan tak sedikit website yang berubah fungsinya menjadi semacam tempat untuk curhat-curhatan antar membernya.
Kenapa banyak orang yang menempuh cara curhat? Adakah manfaat yang bisa dipetik dari cara demikian? Memang ada pendapat yang berbeda-beda soal hal ini. Dari sebagian orang yang saya tanya, ada yang menganggap curhat itu kurang kerjaan. Masalah itu tidak selesai dengan curhat. Curhat itu adalah lambang kecengengan. Tapi tidak sedikit yang menganggap itu sangat dibutuhkan. Curhat bisa menormalkan emosi, bisa menyumbangkan pandangan, dan bisa melegakan batin. Meski masalah tidak selesai dengan curhat, tetapi biasanya sehabis curhat kita merasa plong atau lebih ringan.
Kalau dilihat dari teorinya, memang ada banyak penjelasan yang bisa dipahami bahwa curhat itu termasuk kebutuhan sosial manusia. Di antara kebutuhan sosial itu misalnya: ingin ditemani, ingin ada orang yang merasa senasib, ingin dipedulikan, ingin dihargai, ingin dianggap, ingin didengarkan, dan seterusnya dan seterusnya. Kata sebuah bait puisi yang pernah saya baca, sumbangsih yang paling berharga untuk sesama kita adalah kesediaan untuk saling mendengarkan.
Menurut Horney (1945), setiap orang itu pada dasarnya memiliki tiga kebutuhan dasar. Kebutuhan pertama adalah kebutuhan untuk mendekati orang lain / orang banyak guna mendapatkan cinta / pengakuan. Curhat bisa masuk dalam kebutuhan ini. Kebutuhan kedua adalah kebutuhan untuk menjauhi orang banyak guna memperoleh kebebasan dan kemandirian. Sedangkan kebutuhan ketiga adalah kebutuhan untuk menentang orang banyak guna mendapatkan kekuasaan atau kekuatan (unjuk gigi).
Terlepas itu berguna atau tidak, tapi prakteknya ini kerap kita lakukan atau sulit dihindari untuk tidak melakukannya. Karena itu, mungkin di sini yang diperlukan adalah melihat kapan dan bagaimana curhat itu kita lakukan. Di bawah ini ada beberap hal yang mungkin perlu kita perhatikan:
Pertama, curhat-lah hanya pada orang yang menurut anda itu layak. Layak di sini pengertiannya mungkin layak dalam menjaga rahasia pribadi, layak dalam menangani masalah, layak secara kedekatan hubungan, dan seterusnya. Jangan curhat kepada semua orang atau sembarang orang. Lain soal kalau niat kita memang hanya untuk iseng.
Kedua, curhat-lah hanya ketika kita mendapati masalah-masalah yang memang perlu curhat. Misalnya saja kita menghadapi masalah yang rasa-rasanya belum terbayang bagaimana menanganinya. Saat itu kita butuh pembanding, butuh konfirmasi (penguat) dari orang lain, butuh informasi, dan seterusnya. Jangan curhat untuk semua masalah. Ini berpotensi menghilangkan power personal atau bisa dianggap kita ini cengeng atau selalu mengeluh. Bedanya terkadang sangat tipis dan tidak ketahuan.
Ketiga, curhat-lah pada waktu yang tepat atau yang kira-kira tidak mengganggu orang yang kita curhati. Jangan sedikit-sedikit curhat atau curhat terlalu lama. Perlu kita ingat bahwa ketika kita sadang sangat butuh untuk curhat, umumnya kondisi emosi kita tidak stabil. Mungkin stress, depresi atau mungkin sedang merasa terhimpit. Dalam kondisi semacam itu, biasanya kita cenderung "agak memaksa" orang lain. Kita ingin secepatnya dipahami oleh orang lain lebih dulu. Padahal kita juga perlu memahami orang lain. Karena itu, yang dibutuhkan di sini adalah kendali diri. Jangan sampai kita mengesampingkan kebutuhan untuk memahami orang lain meski keinginan kita adalah untuk dipahami secepatnya.
Keempat, curhat-lah untuk berbagi pengalaman, pengetahuan dan perasaan. Meski kita yang punya acara untuk curhat itu, tapi jangan lupa juga memberikan kesempatan bicara kepada orang yang kita curhati. Ajukan pertanyaan seputar pengalaman dan pengetahuannya tentang persoalan tertentu. Jangan sampai kita curhat hanya untuk curhat. Walaupun ini sah juga tapi alangkah baiknya kalau kita juga mendapatkan manfaat yang banyak. Selain itu, dapatkan juga dukungan. Agar ini tercapai, kita harus tahu orang yang tepat untuk dicurhati.
Kelima, curhat-lah untuk tujuan yang positif dan konstruktif. Ini maksudnya adalah demi kebaikan kita atau demi untuk memperbaiki situasi. Titik. Kenapa perlu dibatasi? Terkadang kita curhat dengan menjelek-jelekkan orang lain, entah itu atasan, teman, pasangan, keluarga, dan siapa saja yang intinya malah memperkeruh suasana. Masalah kita dengan orang lain dan apa saja yang dilakukan orang lain atas kita memang butuh penjelaskan. Tapi, penjelasan di situ sifatnya untuk membeberkan fakta atau memberikan perspektif yang lebih utuh. Ini agar diketahui apa saja yang sebaiknya kita lakukan. Yang jangan sampai adalah penjelasan itu kita bumbui dengan fitnah, adu domba, kedengkian, manipulasi fakta, dan seterusnya. Ini berbahaya buat kita sendiri dan orang lain tentunya.
Hindari Lima Hal
Meski tidak ada kaidah yang mengatur bagaimana kita seharusnya curhat, tapi sepertinya ada rambu-rambu tak tertulis yang perlu kita perhatikan. Sebagian dari sekian rambu-rambu itu adalah:
Pertama, jangan berharap terlalu banyak (over-expectation). Kita mengharapkan seluruh penyelesaian masalah kepada orang yang kita curhati. Ini berpotensi memunculkan mentalitas yang oleh Bandura disebut Avoiding personal responsibility, kebiasaan melemparkan tanggung jawab. Kita perlu sadar, karena kita yang terkena masalah, maka kitalah yang perlu bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Orang lain itu kita butuhkan sebagai bantuan, bukan sebagai tempat untuk melemparkan tanggung jawab. Kita memang harus butuh orang lain, tetapi tidak boleh mengandalkan orang lain.
Kedua, fokuskan pada perbaikan situasi, masalah, atau problem, bukan pada orang. Kenapa ini penting untuk diingat? Seperti yang sudah kita singgung, terkadang kita ingin curat ketika bermasalah dengan orang lain. Saat itu pikiran kita selalu mengarah pada kesimpulan bahwa orang lain-lah yang harus berubah. Padahal, dalam situasi semacam itu, bisanya ini sangat sulit terwujud.
Sebagai gantinya, fokuskan pada persoalan (problem, not people). Ini berarti arah yang kita capai adalah bagaimana mengubah diri sendiri dalam menghadapi masalah itu, bukan bagaimana mengubah orang lain yang keberadaannya di luar kontrol kita. Mengubah diri sendiri, mengubah pendekatan dan perlakuan kita terhadap orang lain, biasanya akan mengubah orang lain. Untuk mengubah diri sendiri ini, mintalah masukan kepada orang yang kita curhati.
Ketiga, jangan "menjual masalah" melalui curhat. Maksudnya adalah, jangan melakukan curhat untuk diberi semacam yang bisa disebut "belas kasihan", meskipun itu bukan niat kita. Kenapa? Prakteknya, posisi demikian terkadang kurang menarik minat orang lain untuk ber-empati (share of feeling atau peduli). Padahal empati itu mungkin tujuan kita. Tapi jangan juga menampilkan sikap atau prilaku yang bisa disimpulkan sebagai kesombongan atau tidak tahu diri, misalnya menolak bantuan yang kita butuhkan atau enggan berterima kasih atas nama kesombongan dan keangkuhan.
Keempat, harus efektif dan efisien. Maksudnya pasti kita sudah tahu. Efektif artinya seimbang antara usaha yang kita lakukan dan hasil yang kita dapatkan (tepat sasaran). Sedangkan efisien adalah penggunaan waktu / biaya yang sebaik-baiknya untuk mencapi hasil yang kita inginkan. Dulu, sebelum tehnologi seluler ditemukan, banyak kantor yang kebobolan teleponnya. Menurut hasil survei yang pernah saya baca, ternyata hanya 20 % penggunaan telepon kantor itu yang untuk urusan kantor. Sisanya tidak jelas, mungkin untuk pacaran, curhat-curhatan, dan seterusnya. Kalau begini caranya, tentu kita rugi dan kantor pun rugi.
Kelima, jangan sampai membuka ruang untuk disalah-tafsirkan. Poin ini sangat penting untuk orang yang sudah berkeluarga. Kata seorang penasehat perkawinan yang saya kenal, amat sangat disarankan untuk tidak curhat kepada orang lain yang lawan jenis, terutama tentang masalah keluarga atau pribadi. Kenapa? Sebetulnya tidak apa-apa juga selama itu dilandasi oleh ke-sepaham-an dan masih dalam batas yang proporsional. Tapi bila dua hal ini tidak ada, ini berpotensi memunculkan salah tafsir dari orang yang kita curhati atau dari orang sekitar.
Untuk Orang yang Dicurhati
Di antara kita pasti ada yang selalu didatangi orang untuk curhat. Kalau anda termasuk, syukurilah itu. Kenapa? Dilihat dari perkembangan teori kecerdasan (Multiple Intelligence), ada yang mengatakan bahwa tanda-tanda orang yang punya kecerdasan Interpersonal itu adalah sering dimintai nasehat, pandangan, pendapat atau mungkin sering dicurhati orang. Kalau itu selalu dikembangkan, pasti akan membuahkan keuntungan, entah itu dalam kehidupan profesi, karir, keluarga atau masyarakat.
Berdasarkan kasus-kasus yang kerap muncul, baik di lapangan atau di dalam penjelasan literatur, nampaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Ini antara lain:
Pertama, setiap masalah itu adalah masalah bagi orang yang sedang terkena masalah. Tidak ada masalah yang ringan bagi orang yang sampai merasa perlu untuk men-curhat-kan masalahnya. Artinya, jangan sampai kita menyepelekan masalah orang lain dengan mengatakan, misalnya saja: gitu aja dipikirin, cengeng banget kamu, saya pernah punya masalah yang jauh lebih dahsyat tapi tidak secengeng kamu, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin intinya di sini adalah kita merendahkan orang lain.
Akan lebih bagus kalau kita berusaha mendengarkan, memahami dan mengeksplorasi perspektif ke tingkat yang lebih luas. Kalau kita punya pengalaman pribadi, sampaikan itu ke dalam paket solusi-solusi alternatif. Kalau kita belum punya referensinya, kasihlan pendapat yang mengarah pada penemuan solusi atau perbaikan-perbaikan. Ini akan lebih positif dibanding dengan ketika kita mengangkat diri sendiri dan menjatuhkan orang lain.
Kedua, tunjukkan empati, bukan simpati. Empati itu pada dasarnya adalah peduli atau care (perhatian). Thomas F. Mader & Diane C. Mader, dalam Understanding One Another (1990), menjelaskan, empati itu adalah kapasitas seseorang untuk bisa berbagi atas dasar semangat kepedulian. Peduli ini, kalau mengacu pada teori kompetensi, ada tingkatannya atau ada skalanya. Bentuk peduli yang paling tinggi adalah bantuan nyata atau tindakan.
Lalu kenapa harus menghindari simpati? Simpati yang dimaksudkan di sini adalah menaruh belas kasihan tetapi dasarnya itu adalah (semacam) merendahkan atau menghina orang yang curhat ke kita seolah-olah nasibnya sangat lebih jelek dibanding kita. Simpati dalam pengertian seperti ini agaknya kurang dibutuhkan. Termasuk dalam pengertian simpati di sini adalah, kita ikut hanyut atau larut ke dalam perasaan orang yang curhat sampai-sampai membuat akal sehat kita tidak bekerja untuk melihat persoalan. Logikanya, kalau kita sendiri ikut hanyut, apa ya mungkin kita bisa memberi masukan yang menyehatkan?
Ketiga, faktual dan "problem centered". Menurut teori manajemen, keputusan yang kualitasnya bagus adalah keputusan yang dilandasi fakta, bukan berdasarkan perasaan pribadi. Ini terkadang tepat pula untuk memberi masukan kepada orang yang curhat. Agaknya kita perlu menghindari pemberian saran, masukan atau pendapat yang malah membuat orang malas berpikir, punya harapan atau keyakinan yang tidak realistis, atau malah menghancurkan spirit hidupnya.
Dekatkan orang pada masalah yang dihadapi (faktual) dan bangkitkan spiritnya. Jangan menghibur seseorang dengan kata-kata manis yang tidak mendorongnya untuk melakukan sesuatu (aksi atau antisipasi). Tapi jangan pula menggembosinya dengan opini-opini negatif yang merusak atau kata-kata yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan destruktif.
Keempat, hindari upaya untuk memojokkan, menyalahkan dan apalagi memarahi. Fokuskan pada apa yang bisa dilakukan oleh dia dan oleh kita terkait dengan masalah yang muncul. Bagaimana kalau demi "pendidikan"? Bisa-bisa saja. Cuma, memarahi orang yang sedang terkena masalah biasanya kurang efektif dan sangat mungkin memancing penolakan. Yang ia butuhkan adalah bantuan. Mungkin nanti kalau kita sudah bisa membantu barulah kita memarahinya, kalau memang itu diperlukan. Jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang menyakitkan padahal kita tidak bisa membantu apa-apa.
Kelima, jaga "kehormatan" orang yang curhat. Kehormatan di sini termasuk misalnya saja: merahasiakan sesuatu yang memang harus dirahasiakan. Kalau pun itu harus dikatakan kepada orang lain / pihak ketiga, hendaknya itu perlu didesain dengan bahasa yang kira-kira bisa memunculkan solusi atau perbaikan, bukan untuk meremehkan, menjelek-jelekkan, atau membuka aib seseorang.
Itulah sebagian dari sekian hal yang mungkin penting untuk diingat ketika hendak curhat atau ketika dicurhati orang lain.
Semoga bermanfaat.
sumber: www.e-psikologi.com - Kategori Sosial
Jumat, 22 Juni 2007
Siapa Dirimu Wahai Anak Adam ?
20 Dzul hijjah 545 H, diPesantrennya.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Diantara perbendaharaan Arasy adalah menyembunyikan musibah."
Anda wahai si tolol, anda mengaku sebagai pencari ilmu pengetahuan. Namun diantara ketololan anda adalah anda mencari dunia bukan dari Pemilik dunia, anda mengadu atas persoalan dan cobaan kepada sesama makhluk.
Anjing yang lapar saja, masih belajar menjaga buruannya dan membiarkan dirinya tidak memakan buruannya tersebut. Burung pun juga demikian, ia masih mau menanggalkan watak laparnya untuk memakan buruannya itu. Sedangkan anda lebih utama dibanding anjing dan burung. Manakala tahu dan faham terhadap tuannya, hingga tidak memakan hartamu dan merobek-robek buruanmu, tidak berkhianat kepada amanat Allah Azza wa-Jalla yang dititipkan pada anjing dan burung.
Anda pun tidak bersahabat dengan anjing dan burung itu manakala belum anda ajari bagaimana berburu. Jika sudah anda ajari, anda berikan pemahaman dan anda baru merasa tenang, anda pun bisa bersahabat dengan mereka kemana pun anda pergi, dan anda tidak berpisah dengan mereka dalam berbagai situasi.
Jika mereka merasa tenang, mengerti lulut patuh, mereka pun rela seberapa pun mereka dapat bagian dari anda. Jangan kau bedakan antara biji gandum dan jewawut, dimana anda harus lebih senang memberikan pada yang lain yang membutuhkan dibanding emmakannya demi kebaikan, ketaatan dan kepedulian sosial. Sehingga anda berbuat derma, zuhud di dunia dan lebih cinta pada akhirat.
Kelak, jika anda pun bisa zuhud terhadap akhirat, anda akan menuju Allah Ta'ala, anda mencariNya, dan anda berada di depan PintuNya. Pada saat demikian anda didatangi oleh kesan masa lampau, "Hai makanlah orang yang tak mau makan, minumlah orang yang tak mau minum...."
Orang sakit yang pintar tak mau makan kecuali dari takaran dokter, atau menurut etika sang dokter, meninggakan kerakusan, ada atau tidak hadirnya si dokter. Andai, wahai orang yang rakus terhadap makanan, anda sudah diberi jatah makan oleh selain dirimu (Allah Ta'ala), pakaian, rumah, kendaraan dan isteri. Sudah diciptakan untuk anda semua oleh Dzat yang Maha Tahu. Amboi bodohnya anda, betapa tak berfikirkah anda, tidak beriman dan tidak membenarkan atas janji Allah Azza wa-Jalla?
Karena itu jika anda bekerja dengan orang mulia yang murah hati, maka jagalah adab dan etikamu, jangan mencari upah dan keuntungan, karena hal itu pasti anda raih darinya tanpa anda berbuat tidak etis padanya.
Jika bosmu yang murah hati itu tahu bahwa anda tidak mencari upah dan keuntungan, tidak berbuat su'ul adab, pasti dia malah mengistimewakan anda dibanding yang lain, dan anda malah diposisikan pada tempat yang terhormat.
Allah Azza wa-Jalla tidak bisa disertai oleh hambaNya yang kontrol di hatinya. Allah Ta'ala hanya bisa disertai oleh orang yang memiliki adab, keterangan lahir batin, dan keselarasan abadi. Selama orang berselaras dengan takdirNya, selama itu pula ia bisa bersamaNya.
Orang yang a'rif billah yang 'alim senantiasa tegak berdiri bersamaNya bukan bersama lainNya, berselaras denganNya, bukan dengan lainNya. Ia hidup bersamaNya.
Anak-anak sekalian... Jika anda bicara, maka bicaralah dengan niat yang baik. Jika anda diam, diamlah dengan niat yang baik. Setiap orang yang beramal tidak didahului niat, maka sia-sia amalnya. Sementara anda sekalian ketika bicara dan ketika diam, malah membawa dosa, karena tidak disertai dengan niat yang baik. Ucapan anda, tanpa disertai Sunnah Nabi SAW, ketika terjadi peristiwa dan krisis dalam rizki, lalu anda begitu mudah berubah hanya membela satu suapan nasi, ketika hasratmu tak tercapai, lalu anda mengkufuri nikmat, seakan-akan anda ini para diktator yang bisa seenaknya membuat aturan. Lakukan!, tapi anda tidak melakukan. Kenapa anda berbuat ? Lalu seyogyanya begini dan begitu... Padahal begini dan begitu adalah terlemparnya diri anda, tertolaknya dirimu...
Siapa dirimu wahai anak cucu Adam ? Toh anda adalah makhluk yang teripta dari air yang sangat hina. Karena itu tawadlu'lah pada Tuhanmu dan merasa hinalah dihadapanNya. Jika ketaqwaan sirna darimu, kalian tak berarti apa-apa dihadapan Tuhanmu Yang Maha Murah begitu juga dihadapan hamba-hambaNya yang saleh. Dunia adalah hikmah dan akhirat semuanya adalah qudrat.
Wahai kaum Sufi. Kalian semua adalah budak-budak, kalian dalam jaminan Allah Azza wa-Jalla dan kalian tak pernah disebut-sebut. Jadilah kalian orang pintar, membuka matahatimu. Bila hadir sejumlah jama'ah di rumahmu, janganlah kalian memulai pembicaraan, tetapi ucapanmu sebagai jawaban saja. Jangan bertanya dengan basa-basi yang tak berarti.
Tauhid itu kewajiban, dan mencari yang halal juga wajib. Mencari pengetahuan yang harus diketahui adalah wajib. Ikhlas dalam amal wajib. Meninggalkan permintaan ganti rugi juga wajib. Menyingkirlah dari kalangan kaum munafiq dan fasiq. Bergabunglah dengan orang-orang saleh yang shidiqin.
Jika anda mengalami kebingunan apakah orang itu manafik atau saleh, maka sholatlah di tengah malam dua rekaat, lalu bermunajatlah kepada Allah Ta'ala: "Oh Tuhan tunjukkan pada orang-orang yang saleh dari makhlukMu, tunjukkan kepadaku orang yang menunjukkan kepadaMu, memberikan makan kepadaku dari makanan dariMu, memberi minum pdaku dari minuman dariMu, dan merias celak di mata kedekatanku padaMu dengan cahaya kedekatanMu, dan memberikan khabar yang meyakinkan, bukan mengekor..."
Kaum Sufi makan dari makanan anugerah Allah Azza wa Jalla, meminum minuman dari rasa sukacita denganNya dan menyaksikan pintu taqarrub padaNya, tidak begitu saja menerima kebaikan yang meragukan. Tetapi mereka bermujahadah, bersabar, menghindar dari mereka yang munafiq dan fasiq sampai mereka meraih kebaikan nyata.
Ketika sampai pada Rabbnya, justru Rabbnya yang mendidik dan mengajari hikmah dan pengetahuan. Allah memperlihatkan kerajaan dan kuasaNya, dan mengenalkan bahwa tidak ada di langit dan di bumi kecuali Dia, tak ada yang memberi dan mencegah kecuali Dia, tak ada yang menggerakkan dan mendiamkan kecuali Dia, tak ada yang menakdirkan dan merencanakan kecuali Dia, tak ada yang memberi kemuliaan dan kehinaan kecuali Dia, tak ada yang memberikan kompetensi atau menundukkan kecuali Dia, tak ada yang Memaksa kecuali Dia. Dia memperlihatkan pada mereka lalu mereka melihatNya dengan mata hati dan rahasia batin mereka, hingga tak tersisa sedikit pun di dunia dan kerajaan dunia ini.
Oh Tuhan, tampakkan pada kami sebagaimana Engkau tampakkan pada mereka dengan kemaafan dan ampunan. Berikanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan lindungi kami dari azab neraka.
sumber majalah Cahaya Sufi edisi Mei 2007
kisah Syaqiq Al Balkhi dan Harun Ar Rasyid
"Apakah engkau yang bernama Syaqiq sang Wali," tanya Harun ketika Syaqiq datang menghadap.
"Ya, aku adalah Syaqiq," jawab Syaqiq, "tapi aku bukan wali."
"Nasihati aku," perintah Harun.
Syaqiq berkata, "Engkau duduk di tempat Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib. Allah Yang Maha Kuasa menuntut pengetahuan dan keadilan darimu, sebagaimana pengetahuan dan keadilan sang Imam."
"Nasihati aku lagi," pinta Harun.
"Allah memiliki sebuah penginapan yang bernama neraka," ujar Syaqiq. "Dia telah menunjukmu sebagai penjaga pintunya, dan telah melengkapimu dengan tiga hal: harta, cambuk dan pedang. Dia memerintahkan, dengan tiga hal ini, jauhkanlah manusia dari neraka. Jika seseorang datang memohon padamu untuk memenuhi kebutuhannya, janganlah sungkan memberinya uang. Jika seseorang menentang hukum Allah, didiklah dengan cambuk ini. Jika seseorang membunuh sesamanya tanpa hak, kenakan balasan yang setimpal dengan pedang ini. Jika engkau tidak melakukan hal ini, engkau akan menjadi Pemimpin para ahli neraka."
"Lagi," pekik Harun.
Syaqiq mengatakan, "Engkau adalah sungai, sedangkan para pembantumu adalah anak sungai. Jika sebuah sungai jernih, maka ia tak akan terkeruhkan oleh anak sungainya. Namun bila sebuah sungai kotor, apa yang dapat diharapkan dari anak sungainya?"
"Lagi... lagi...," Harun memohon.
Syaqiq melanjutkan, "Misalkan engkau kehausan di tengah padang pasir hingga engkau hampir mati, lalu datanglah seseorang dengan membawa air, berapa yang engkau rela bayarkan untuk seteguk air itu?"
"Berapapun yang diminta orang itu," jawab Harun.
"Jika orang itu meminta separo kerajaanmu?" tanya Syaqiq.
"Aku akan berikan," jawab Harun.
Syaqiq bertanya lagi, "Misalkan air yang engkau minum itu tidak mau keluar dari tubuhmu, membuat mu sakit hingga hampir mati, lalu datanglah seseorang yang mengatakan, 'Aku akan menyembuhkanmu dengan imbalan separo kerajaanmu,' apa yang akan engkau lakukan? "
"Tentu aku akan memberikannya," jawab Harun.
"Lalu, untuk apa engkau menyombongkan kerajaanmu, yang nilainya tidak lebih dari seteguk air yang engkau minum dan keluarnya ia dari tubuhmu?" tukas Syaqiq.
Harun pun menangis dan melepaskan kepergian Syaqiq dengan penuh penghormatan.
sumber: Cahaya Sufi Edisi Mei 2007
Lingkaran Kedzoliman
Nach, sebenarnya apa makna dzolim itu? Jangan-jangan mereka (atau kita) berucap demikian tapi tidak tahu maknanya.
Pengertian dzolim sebenarnya adalah aniaya dan melampaui batas yang telah ditentukan atau meletakkan sesuatu bukan pada tempat semestinya. Jadi kedzoliman dapat diartikan sebagai penyimpangan dari ketentuan, baik besar maupun kecil. Karena itu dalam konteks beragama, dapat dikatakan bahwa orang itu dzolim apabila ia melakukan dosa sekalipun kecil, apalagi dosa besar.
Allah swt berfirman di dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah :2 :195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” dan Al-‘Alaq : 96: 6-8: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu).”
Sebagian ahli filsafat Islam membagi kedzoliman menjadi 3 macam, yaitu:
- Pertama, kedzoliman manusia terhadap Allah.
- Kedua, kedzoliman manusia dengan sesamanya.
- Ketiga, kedzoliman manusia terhadap dirinya sendiri.
Tiga kedzoliman manusia terhadap Allah swt yang terbesar adalah:
- Kufur (mengingkari Allah)
- Syirik (menyekutukan Allah)
- Nifaq (mengaku beriman dengan lidahnya akan tetapi batinnya menolak)
Di dalam Al Qur’an Allah swt befirman di surrah Az Zumar 39:32: “Maka siapakah yang lebih dzolim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?…”, surrah Al Lukman 31:13: ”…sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzoliman yang besar.”. Dan surrah An Nisaa’ 4:48 : “…Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”.
Kedzoliman manusia dengan sesamanya ialah berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain rugi, celaka, teraniaya atau menderita secara lahir atau batin, misal: mencederai; menyiksa; menculik; memperkosa; membunuh; melanggar janji/menipu; mencuri; merampok; mengadu domba; menteror; menghina; memfitnah; menyakiti hati orang lain; merampas hak orang lain; mengajari kesesatan/menjerumuskan dalam kebathilan; membiarkan/membenarkan orang lain berbuat kedzoliman; dan sebagainya.
Kedzoliman terhadap dirinya sendiri ialah berbuat maksiat dan kedurhakaan, yang mengakibatkan kerugian atau celaka bagi dirinya sendiri, seperti: lalai atas perintah Allah swt; menambah atau mengurangi ketentuan Allah swt; berakhlaq nista (sombong, riya’, ujub, dendam, dengki, iri hati, maksiat, munafik); hidup berlebih-lebihan, dan sebagainya. Allah swt berfirman di dalam Al Qur’an surrah Faathir 35:32: “…di antara mereka ada yang menganiaya(mendzolimi) diri mereka sendiri…”
HAKIKAT KEDZOLIMAN
Tiga macam kedzoliman itu, pada hakikatnya bertitik tolak pada satu, yakni kedzoliman terhadap diri sendiri oleh karena dirinya tidak/kurang beriman dan mengikuti hawa nafsu, dan sesungguhnya semua macam kedzoliman, yang pertama kali celaka (menderita kerugian) adalah si ‘Pendzolim’.
Sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur’an surrah Al Baqarah 2:9: “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” , Al Baqarah 2:57:”… Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.“ , Al Baqarah 2:231: “…Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat dzolim terhadap dirinya sendiri…”
PERINGATAN / SANKSI
Allah swt telah memberikan peringatan keras terhadap para pelaku kedzoliman, sebagaimana Dia berfirman di dalam Al Qur’an surrah An Nisaa’ 4:79: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…” , An Najm 53:39-41: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, ” , Al Baqarah 2:81-82: “… barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”
a. Tersesat dan Tak ada Pelindung / Penolong
Allah swt berfirman di dalam Al Qur’an surrah As Syuura 42:8: “… Dan orang-orang yang lalim(dzolim) tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”, Al Maidah 5:72: “…tidaklah ada bagi orang-orang lalim(dzolim) itu seorang penolong pun.”, Al Mu’min 40:18: “… Orang-orang yang lalim(dzolim) tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.”, Al Qashash 28:50: “… Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim (dzolim).”, An Nisaa’ 4:116: “…Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”
Dalam ayat-ayat Al Qur’an lainnya Allah befirman: Al Jaatsiyah 45:23: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”, Al Baqarah 2:15: “Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” , Al Furqaan 25:43: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”
b. Tidak Diampuni Dosanya (bagi yang syirik)
Allah swt berfirman di dalam Al Qur’an: An Nisaa’ 4:48: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”.
c. Siksaan / Neraka
Allah swt berfirman di dalam Al Qur’an: As Syu’araa’ 26:227: “…Dan orang-orang yang lalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” , Al Maaidah 5:72: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "…Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,…”, Az Zumar 39:32: “…Bukankah di neraka Jahanam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?”, Al Mu’min 40:43: “…dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas(kafir dan musyrik), mereka itulah penghuni neraka.” , Al A’raaf 7:40-41: “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit(do’a dan amalnya tidak diterima) dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang lalim(dzolim).”
Demikian pula dalam ayat-ayat Al Qur’an lainnya Allah berfirman:
Al Baqarah 2:59: “…Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang lalim(dzolim) itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik(berbuat menyimpang dari ketentuan Allah).”, Al A’raaf 7:165: “… Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim(dzolim) siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik(berbuat menyimpang dari ketentuan Allah).” , Al – An’aam 6:45 : “Maka orang-orang yang lalim(dzolim) itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”, Hud 11:113: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang lalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,...”
Peringatan keras dari Allah swt terhadap para pelaku kedzoliman juga terdapat dalam beberapa Hadits Qudsi sebagai berikut: “Allah swt mewahyukan keapda Nabi Daud as: ‘Katakanlah kepada orang-orang yang melakukan kedzoliman; Janganlah kalian berdzikir kepada KU (kecuali setelah beraubat), karena Aku selalu memperhatikan orang yang berdzikir kepada KU. Tetapi perhatian KU terhadap orang (yang melakukan kedzoliman) berupa laknat kepada mereka.” (HQR. Hakim dalam kitab tarikhnya, dan Dailami dan Ibu ‘Asakir yang bersumber dari Ibnu Abbas ra);
“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, pasti akan Ku-balas si penganiaya (pelaku dzolim) cepat atau lambat, dan pasti akan Ku-balas orang yang melihat seseorang teraniaya (terdzolimi) tetapi ia tidak menolongnya padahal ia mampu melakukannya.” (HQR at-Thabarani dalam bukunya al Kabir dan Al-Ausath yang bersumber dari Ibnu Abbas ra); dan “Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya telah Ku-haramkan kepada-Ku untuk berbuat dzolim dan mengharamkan pula kepada kalian perbuatan itu. Oleh karena itu janganlah kalian saling menganiaya diri kalian. Wahai hamba-Ku, kalian seluruhnya sesat kecuali orang yang telah Ku-beri hidayah…” (HQR Muslim, Ibnu Hibban dan Hakim).
Mengenai kedzoliman, dalam hadits Rosulullah saw bersabda: “Kedzoliman merupakan kegelap-gulitaan pada hari qiamat.” Sedangkan menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Kedzoliman bagi manusia mempunyai tiga tanda, yaitu: mendzolimi kepada yang ada di atasnya dengan kemaksiatan; mendzolimi kepada orang yang ada di bawahnya dengan penguasaan; dan mendukung orang-orang yang dzolim.” Dan nasehat beliau adalah: “Tidak ada kemenangan bersama kedzoliman” dan “Janganlah engkau menjadi susah karena kedzoliman orang yang mendzolimimu. Sebab, sesungguhnya dia sedang menuju pada kemudaratan sendiri dan memberikan kemanfaatan kepadamu.”
PENUTUP
Dari uraian pemahaman mengenai ke-dzoliman di atas, marilah kita mulai introspeksi, barangkali selama ini kita telah banyak atau sering berlaku dzolim, termasuk dzolim terhadap diri kita sendiri (yang sekiranya tidak kita sadari selama ini) sehingga tidak lagi mengobral ucapan seolah-olah orang lain telah berbuat dzolim pada diri kita padahal kita sendiri justru yang lebih banyak mendzolimi diri sendiri. Apapun alasannya (dalam contoh kasus di atas), tindakan/perilaku: korupsi, saling bermusuhan, “merampas hak” si anak, melacurkan diri, berselingkuh, dan sebagainya adalah perilaku dzolim juga.
Untuk itu, mulai sekarang, mari kita masing-masing untuk memohon ampun/taubat atas perbuatan dzolim yang telah kita lakukan dan tentunya tidak boleh berputus asa, karena Allah swt telah berfirman di surrah Az Zumar 39:53: “Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Selanjutnya mari kita mohon ke hadirat Allah swt (Sang Maha Kaya dan Sang Maha Mencegah) agar Allah swt senantiasa mencurahkan rahmat-Nya sehingga kita di jauhkan dari perbuatan aniaya atau ke-dzoliman, dan diberi kekuatan untuk menolong orang yang dzolim, serta dikaruniai sifat pemaaf, pengampun serta lapang dada. Sebagaimana Allah swt juga telah berfirman di dalam Al Qur’an surrah Faathir 35:2: “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Semoga Allah swt mengampuni dosa-dosa ktia dan semoga kita diberi-Nya taufik da rahmat untuk selalu dzikir (ingat) kepada Allah swt dalam setiap waktu dan kondisi serta dalam setiap langkah / perbuatan kita. Demikian juga, terhadap orang-orang yang telah mendzolimi kita, marilah dengan kelapangan dada, kita maafkan mereka dan kita do’a-kan agar mereka diberi-Nya taufik dan hidayah sehingga sadar atas segala perbuatannya sehingga mau bertaubat, sebagaimana Allah swt berfirman di surat As Syura 42:40: “..Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim(dzolim).”
Terakhir, marilah kita renungkan dalam-dalam dan mengambil makna hikmah dari kisah pengakuan Nabi Yunus sebagai seorang hamba tentang kelemahan dirinya dan ketidakmampuan dirinya memenuhi Hak Allah swt dengan sempurna, sebagaimana terusrat dalam Al Qur’an surrah Al Anbiyaa’ 21:87: “…Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang lalim(dzolim).”
Dikutip dari majalah Cahaya Sufi edisi Mei 2007.
Teka Teki IMAM Al-Ghazali
Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ?
Yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (Surah Ali-‘Imran: 185).
Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ?
Yang paling jauh adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama.
Apa yang paling besar di dunia ini ?
Yang besar sekali adalah HAWA NAFSU (Surah AL A’raaf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.
Apa yang paling berat di dunia ?
Yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah Al-Ahzab: 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka karena gagal memegang amanah.
Apa yang paling ringan di dunia ini ?
Yang paling ringan sekali di dunia ini adalah MENINGGALKAN SHALAT. Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan shalat.
Apa yang pling tajam sekali di dunia ini ?
Yang paling tajam sekali di dunia ini adalah LIDAH MANUSIA. Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
Dikutip dari majalah CAHAYA SUFI Edisi Juni 2007. halaman 28-29